Rabu, 17 Desember 2014

Tarian jepang

Kabuki
Boleh dibilang Kabuki adalah tarian tradisional yang paling populer di Jepang. Setiap ada pertunjukan Kabuki digelar, dipastikan akan penuh sesak oleh penonton. Sejak zaman tenno (kaisar Jepang) hingga sekarang, Kabuki selalu jadi primadona masyarakat Jepang.

Para penarinya adalah pria.Kabuki menawarkan olah tari yang berbaur dengan kritik sosial dan kearifan hidup.Jadi, amat pantas jika dikatakan bahwa Kabuki merupakan kesenian tingkat tinggi.


Gerak khas Kabuki terletak pada langkah kaki yang sangat lemah lembut.Terdapat tiga gerakan dasar pada Kabuki yaitu gerakan memutar, gerakan tangan, dan gerakan kepala.Setiap gerakan ini menyimbolkan ekspresi manusia.Seperti bagaimana ketika menangis, gembira, sedih, dan berbagai ekspresi emosional lainnya. Dipadu dengan busana berupa kimono yang eye catching, menyaksikan Kabuki akan jadi pengalaman yang sukar dilupakan.

  Sejarah Kabuki
Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramo (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh (kabukimono), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan. Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung noh.  Hanamichi (hon hanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton). Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi.
Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Drama kabuki dimulai pertunjukan tarian yang dilakukan oleh wanita. Wanita pertama yang memperkenalkan kabuki adalah Izumino Okuni pada tahun keichoo. Dia disebut juga sebagai nenek moyang atau cikal bakal kabuki. Tarian pertama dikenal dengan Nebutsu Odori,yang kemudian terkenal dengan sebutan  Kabuki Odori. Kabuki Odori sangat popular dikalangan wanita. Diberbagai daerah banyak wanita yang menjadi penari kabuki dan mereka disebut sebagai yujo kabuki atau onna kabuki. Penari – penari tersebut selain menari juga melayani tamu laki – laki. Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki remaja juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki  yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Pada tahun berikutnya mereka diperbolehkan mengadakan pertunjukan kembali dengan syarat yang ketat yaitu penari kabuki harus memotong Maegami ( Poni). Dengan di potongnya maegami sebutan wakashu kabuki berubah menjadi yaro kabuki. Kabuki tidak hanya berkembang di Kyoto dan Osaka tetapi berkembang juga sampai ke Tokyo dan menjadi pusat kabuki sampai sekarang.
Pengarang kabuki bernama Yonsei Tsuruya Namboku pada jaman Edo generasi keempat dari keluarga Namboku. Generasi ke 1, ke 2 dan ke 3 adalah actor kabuki. Karya yang terkenal adalah Sumidagawa Hangoshozomei dan Tokaido Yotsuya Kaidan.

Kostum Kabuki
Dalam penampilan kabuki, pemeran dalm kabuki selalu menghiasi rambutnya dengan berbagai aksesoris yang indah dan dihiasi dengan topi yang berbentuk seperti payung yang disebut dengan Nurigasa. Lalu, untuk menyamai penampilannya dengan seorang samurai, pemain kabuki membawa pedang yang diselipka di Obi nya. Sebagai aksesoris tambahan pemain menggunakan selempang berwarna merah di dada yang disebut Karaori. Pada Koraori tersebut, terdapat hiasan gong kecil yang disebut dengan kane. Jika sebelumnya pakaian yang di gunakan oleh penari adalah pakaian yang juga lazim digunakan oleh masyarakat umumnya, maka dalam kabuki penarinya menggunakan kostum berupa kimono dengan motif bunga-bunga yang indah dengan warna yang terang dan mencolok.
Kabuki mulai berkembang menjadi suatu bentuk teater bukan hanya karena bentuk taria yang diiringi musik saja, tetapi juga terdiri dri beberapa aktor profesional yang memenaskan suati cerita tertentu. Bisa dikatakan bahwa kostum tidak hanya mewakili karakter tokoh dan peran yang dimainkan, mencerminkan identitas dan status sosial tokoh yang bersangkutan, tetapi juga mendukung ketokohannya sekaligus, sehingga kehadiran dan peran yang di jalankan memperkuat tema cerita. Bisa diartikan kostum adalah pakaian yang khusus yang merupakan pakaian seragam bagi perseorangan, rombongan kabuki, dan kesatuan.

Perkembangan perbedaan kostum kabuki ini memiliki empat tahap yaitu, yang pertama, pemakaian Eboushi (topi samurai) yang digunakan oleh Ichikawa Danjuro dihiasi dengan semacam tali kecil yang terbuat dari kumparan benang yang berwarna merah, putih, dan hijau. Sementara Matsumoto koshiro juga menggunakan Eboushi yang dihiasi dengan tali kecil yang terbuat dari kumparan benang. Namun tali kecil yang di gunakan oleh Motsumoto Koshiro itu sendiri terdiri dari empat warna yaitu merah, putih, hijau dan ungu. Kedua, ichikawa Danjuro memakai Himo yang terbuat dari kain sutra yang berwarna putih, sementara itu Matsumoto Koshiro menggunakan Himo yang terbuat dari benang berwarna hijau yang digabungkan dengan cara dililit. Ketiga, ichikawa Danjuro menggunakan Juban(baju dalam) yang mempunyai kerah yang disebut dengan Eri(kerah baju). Sementara Juban yang digunakan oleh Matsumoto Koshiro tidak mempunyai kerah. Keempat, Sou (seperangkat pakaian yang terdiri dari pakaian luar dan celana dengan motif berlipat) yang di kenaka oleh Ichikawa Danjuro berwarna coklat kemerah-merahan, sementara sou yang digunakan Matsumoto Koshiro berwarna coklat.

      Jenis Kabuki
1.       Kabuki Odori
Kabuki-odori (kabuki tarian). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.
2.       Kabuki-geki (kabuki sandiwara)
Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk "habis-habisan meniru kyōgen" merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.
Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang berjalannya waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi pergantian adegan. Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian panggung bernama hanamichi yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi penonton. Hanamichi dilewati aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari panggung, sehingga dapat menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga berkembang sebagai pertunjukan tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti teknik Séri (bagian panggung yang bisa naik-turun yang memungkinkan aktor muncul perlahan-lahan dari bawah panggung), dan Chūzuri (teknik menggantung aktor dari langit-langit atas panggung untuk menambah dimensi pergerakan ke atas dan ke bawah seperti adegan hantu terbang).
Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita Ningyo Jōruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata.  Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai sandiwara (shibai).

   Cerita Kabuki
Drama kabuki adalah cerita sejarah yang disebut Jidaimono. Penulis drama kabuki dari daerah Kamigata menjadi pionir dalam penulisan naskah drama. Penulis banyak mengadaptasi cerita Ningyo Jòruri. Hal ini memicu kreativitas tersendiri bagi penulis kabuki asal Edo. Beberapa penulis kabuki asal Edo tergerak mengkreasikan drama-drama baru, misalnya Tsuruya Namboku. Penulis kabuki yang banyak mengkreasikan cerita kepahlawanan dari zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Kawatake Mokuami yang popular di akhir zaman edo hingga memasuki zaman Meiji. Beberapa judul drama kabuki yang terkenal ialah Taiheiki no sekai, Heike monogatari no sekai, Sogamono no sekai, dan Sumidagawamono no sekai.
Jenis lakon kabuki terdiri dari :
1.       Jidai Kyogen :
Ceritanya diambil dari jaman Edo atau samurai pendeta pada jaman Kamakura.
2.       Sewa Kyogen :
Isi ceritanya menyangkut kehidupan rakyat pada jaman Edo.
3.       Buyogeki :
Tarian yang diiringi melodi gidayu.
4.       Kabuki Juhachiban:
Lakon Kabuki yang sangat popular.
5.       Shinsaku Kabuki :
Lakon-lakon yang ditulis setelah jaman Meiji.

E.      Judul Pertunjukan Kabuki
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai yang kemungkinan besar berasal dari kata Geidai. Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume dōjōji (4 aksara kanji) harus ditambah dengan Kyōkanoko (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul pertunjukan kabuki.


       Musik dan Panggung Kabuki
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Musik Kabuki sendiri terbagi dalam dua jenis, yaitu Shosha Ongaku yaitu musik samisen yang mengiringi tayu (dalang) dan Geza Ongaku yaitu musik yang melengkapi pertunjukan kabuki dari belakang panggung.
Selain itu yang menarik dalam kabuki adalah bentuk panggungnya. Keunikan panggung kabuki yang tidak akan dijumpai di negara lain. Bentuk panggung terdiri dari :
1.       Hanamichi :
Lorong diantara tempat duduk penonton yang terletak disebelah kiri dan kanan panggung.
2.       Suppon :
Lubang segi empat yang terdapat pada Hanamichi yang dapat ditarik ke atas dan ke bawah.
3.       Mawani Butai :
Bulatan besar yang terletak ditengah-tengah panggung dan dapat berputar fungsinya untuk pergantian dari siang dan malam.
4.       Yuka :
Tempat duduk tayu (dalang), pemetik simasen.
5.       Geza :
Tempat para pemain musik untuk memainkan alat-alat musik.
6.       Hikimaku :
Layar panggung yang terdiri dari tiga warna yaitu hijau tua, orange, dan hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar