Kamis, 18 Desember 2014

Upacara Minum Teh ala jepang

Sejarahnya
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōkimenulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi pada tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.
Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.
Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.
Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal usul upacara minum teh aliran Wabicha.
Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō UjisatoHosokawa TadaokiMakimura Hyōbu,Seta KamonFuruta ShigeteruShigeyama KenmotsuTakayama UkonRikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori MasakazuKatagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.
Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.
Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: OmotesenkeUrasenke danMushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.
Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenkegenerasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijakuyang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada tehsencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
Pada tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

   Manfaat upacara minum teh di Jepang
Upacara minum teh di Jepang yang sudah menjadi tradisi budaya Jepang turun menurun memiliki banyak manfaat antara lain
Teh yang disajikan baik untuk kesehatan
Teh yang disajikan dalam upacara minum teh memiliki banyak manfaat antara lain :

Memperkuat gigi
Memperkuat daya tahan tubuh
Mencegah hipertensi
Menyegarkan tubuh
Sebagai penetralisir
Menangkal kolestrol
Mencegah kanker
Mengoptimalkan metabolisme gula

Makna upacara minum teh di Jepang

Upacara minum teh di Jepang banyak mengandung makna kehidupan. Setiap prosesi yang ada dalam upacara minum teh di Jepang mengandung setiap makna. Prosesi saling memberi hormat antara tamu dan penerima tamu yang bermakna saling menghormati dan setiap orang harus menghormati tamu. Prosesi pemberian kue manis atau okashi yang mana harus dihabiskan oleh tamu merupakan bentuk penghargaan dari tuan rumah untuk menyambut tamu dan tamu yang mendapat kue okashi harus menghabiskannya sebagai rasa syukur akan pemberian tamu juga sebagai bentuk penghormatan. Pada saat Tea Master membuat teh, setiap gerakan yang dilakukan sangat hati hati dan penuh kesabaran dan tidak boleh tergesa gesa hal ini bermakna seseorang harus melakukan sesuatu secara hati hati dan sabar. Meminum teh pun tidak bisa sembarangan. Mangkuk teh yang disajikan diletakkan dengan sangat hati-hati karena yang menyajikan harus memastikan bahwa motif terbaik dari mangkuk teh tersebut harus menghadap ke arah tamu. Karena itu adalah sisi yang paling baik, maka tidak sopan pula bagi tamu untuk meminum langsung dari sisi tersebut. Jadi peminum teh juga harus memutar mangkuk teh agar posisi motif menghadap tuan rumah sebagai tanda terima kasih dan menghormati.

“Bahwa upacara minum teh itu sakral sifatnya. Sekaligus menggambarkan bahwa “yang penting bukan ketika teh dihirup melainkan bagaimana proses membuatnya”. Dalam proses pembuatan teh lalu menghidangkannya dengan aturan yang gemulai alami membuat kita teringat “diri”, teringat alam, teringat perjalanan hidup, teringat darimana kita datang da ke arah mana kita pergi.

Harmoni, keseimbangan adalah “jalan hidup” yang setiap kali harus di rawat, ditata, dilatih dalam proses gemulai. Halus. Tak terburu buru


Jenis jenis teh yang disajikan dalam upacara minum teh di Jepang
Green Tea, atau sering disebut dengan teh hijau. Teh hijau memiliki banyak manfaat oleh sebab itu teh hijau sering digunakan dalam upacara minum teh.
Gyokuro, teh ini tumbuh dengan tidak menerima sinar matahari secara langsung hal ini menjadikan aroma dari teh ini sangat harum.
Matcha, merupakan teh hijau bubuk yang sangat tinggi kualitasnya. Hla ini menjadikan teh ini sering digunakan dalam upacara minum teh di Jepang.
Sencha, teh ini sangat sering ditemui. Dalam upacara minum teh di Jepang sering menggunakan teh ini bias jadi karena mudahnya bahan baku. Teh ini ditanam dengan mendapatkan sinar matahari secara langsung.
Genmaicha, campuran teh maicha dan beras merah yang telah dipanggang.
Kabusecha, merupakan teh yang dilindungi dari sinar matahari daunnya sebelum di panen.
Bancha, merupakan sencha yang dipanen pada musim kedua.
Houjicha, merupakan teh hijau yang dipanggang.
Kukicha, berasal dari tiap pucuk tanaman teh, dengan memetik bagian bunga dan tiga helai daunnya.
Tamaryokucha, merupakan teh yang memiliki aroma yang sangat tajam

Takao(layang-layang)

Sejarahnya
Di Jepang layang-layang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1185). Pada masa itu layang-layang sering digunakan sebagai alat komunikasi pembawa pesan rahasia di istana. Karena harus melewati parit-parit besar, maka layang-layang dinilai mampu menjalankan misi itu. Masa keemasan pembuatan layang-layang terjadi pada zaman Edo (1630-1868). Namun waktu itu karena harga kertas sangat mahal, hanya kalangan bangsawan yang mampu menerbangkan layang-layang. Berkembangnya seni cetak cukilan kayu dan penggunaan warna dalam seni cetak tradisional Jepang, membawa perubahan baru pada layang-layang. Teknik-teknik seni itu mulai diterapkan pada layang-layang sehingga warna-warna yang dihasilkan sangat indah. Setiap 5 Mei permainan layang-layang di Jepang menjadi acara tahunan yang semarak sebagai festival anak laki-laki. Pada hari itu para orang tua beramai-ramai menuliskan nama bayi mereka pada layang-layang yang dihiasi gambar prajurit legendaris atau pahlawan dalam cerita anak-anak. Hal itu dimaksudkan agar anaknya tumbuh sehat dan kuat. Motif lain yang disukai adalah kura-kura dan burung bangau (lambang panjang umur) dan ikan gurame (lambang keuletan). Semakin tinggi layang-layang terbang, konon nasib seseorang semakin baik. Menurut penilaian para pakar pariwisata, festival 5 Mei merupakan pesta layang-layang terbesar di dunia. Lebih dari seribu layang-layang berpartisipasi selama tiga hari penyelenggaraan. Sekitar lima juta pengunjung tercatat menyaksikan festival tersebut, termasuk wisatawan mancanegara. Meskipun kini tanah lapang di Jepang semakin sempit, bahkan anak-anak keranjingan berbagai jenis games modern, ternyata permainan tradisional layang-layang masih tetap hidup. Di Indonesia, kecuali seniman-seniman Bali, jarang sekali yang mau menekuni seni membuat layang-layang. Padahal, Indonesia memiliki aneka ragam budaya yang memesona, jauh lebih banyak daripada budaya di Jepang. Ya, kita memang selalu mengabaikan warisan budaya masa lalu. Mungkin kita akan menyesal di kemudian hari karena tidak melestarikan layang-layang.

Takao 
Fungsi
Fungsi Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan. Yang paling umum adalah layang-layang hias (dalam bahasa Betawi disebut koang) dan layang-layang aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada masa itu. Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan "menarik" kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar. Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik

Rabu, 17 Desember 2014

Tarian jepang 2

Bon Odori
Kata O-Bon berasal dari kata sanskrit urabon (urabanayang artinya ‘digantung terbalik’, pederitaan yang sangat mendalam). Upacara peringatan arwah O-Bon konon bermula pada kisah yang berasal dari Buddhisme berikut ini. Alkisah salah seorang dari 10 murid utama Budha, orang suci Mokuren, dengan kemampuan ajaibnya mencoba melihat keadaan kedua orangtuanya. Didapatinya, ibunya telah terlahir kembali ke dunia hantu lapar, tidak bisa makan-minum, bentuknya pun tinggal tulang dan kulit saja. Mokuren tentu saja merasa sangat sedih. Sambil menangis dia datang mengadu kepada Buddha. Buddha memberi petunjuk kepadanya untuk melakukan sembahyangan arwah dengan sesajen berikut ini agar arwah leluhur dapat diselamatkan dari siksaan neraka. Sesajennya berupa, beras, hyakumi (banyak macam minuman dan makanan), 5 macam buah-buahan, air, lampion dan perlengkapan tidur (baju tidur, selimut,dll.). Dari situlah asal mulanya upacara peringatan arwah secara Buddhis.
Bon-Odori ala Jepang tergantung pada derah, terdapat beraneka variasi. Tarian Bon-Odori biasanya diiringi musik rekaman dari kaset yang diputar, namun di desa-desa masih banyak yang diiringi musik hidup (langsung dimainkan di tempat/ bukan rekaman). Konon hal yang penting dalam koreografi Bon-Odori adalah “langkah mantap” menginjak bumi. Dalam kepercayaan tradisional Jepang, ada kepercayaan khusus terhadap dewa bumi. Tindakan menghentakkan kaki ke umi terlihat dalam tari Bon-Odori, demikian pula dalam gulat Sumo, menunjukkan kepercayaan terhadap bumi yang dianut oleh rakyat Jepang (yang dulunya) adalah kaum tani. Tradisi Bon-Odori tetap berlangsung di Jepang masa kini karena masih ada sebagian orang Jepang yang mau melestarikan nilai-nilai tradisional budaya.

Tarian ini ditarikan ketika masa panen tiba (festival musim panen), sebagai ungkapan syukur kepada dewa.Ditarikan secara massal dengan penarinya memakai pakaian tradisonal Jepang.

Ciri khas tarian Bon Odori adalah menari diiringi nyanyian atau musik tradisional.Langkah kaki bergerak bebas disertai entakan kaki untuk mengeluarkan suara.Lalu, ditingkahi dengan tangan yang disesuaikan dengan ritme musik.


Tarian jepang

Kabuki
Boleh dibilang Kabuki adalah tarian tradisional yang paling populer di Jepang. Setiap ada pertunjukan Kabuki digelar, dipastikan akan penuh sesak oleh penonton. Sejak zaman tenno (kaisar Jepang) hingga sekarang, Kabuki selalu jadi primadona masyarakat Jepang.

Para penarinya adalah pria.Kabuki menawarkan olah tari yang berbaur dengan kritik sosial dan kearifan hidup.Jadi, amat pantas jika dikatakan bahwa Kabuki merupakan kesenian tingkat tinggi.


Gerak khas Kabuki terletak pada langkah kaki yang sangat lemah lembut.Terdapat tiga gerakan dasar pada Kabuki yaitu gerakan memutar, gerakan tangan, dan gerakan kepala.Setiap gerakan ini menyimbolkan ekspresi manusia.Seperti bagaimana ketika menangis, gembira, sedih, dan berbagai ekspresi emosional lainnya. Dipadu dengan busana berupa kimono yang eye catching, menyaksikan Kabuki akan jadi pengalaman yang sukar dilupakan.

  Sejarah Kabuki
Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramo (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh (kabukimono), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan. Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung noh.  Hanamichi (hon hanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton). Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi.
Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Drama kabuki dimulai pertunjukan tarian yang dilakukan oleh wanita. Wanita pertama yang memperkenalkan kabuki adalah Izumino Okuni pada tahun keichoo. Dia disebut juga sebagai nenek moyang atau cikal bakal kabuki. Tarian pertama dikenal dengan Nebutsu Odori,yang kemudian terkenal dengan sebutan  Kabuki Odori. Kabuki Odori sangat popular dikalangan wanita. Diberbagai daerah banyak wanita yang menjadi penari kabuki dan mereka disebut sebagai yujo kabuki atau onna kabuki. Penari – penari tersebut selain menari juga melayani tamu laki – laki. Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki remaja juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki  yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Pada tahun berikutnya mereka diperbolehkan mengadakan pertunjukan kembali dengan syarat yang ketat yaitu penari kabuki harus memotong Maegami ( Poni). Dengan di potongnya maegami sebutan wakashu kabuki berubah menjadi yaro kabuki. Kabuki tidak hanya berkembang di Kyoto dan Osaka tetapi berkembang juga sampai ke Tokyo dan menjadi pusat kabuki sampai sekarang.
Pengarang kabuki bernama Yonsei Tsuruya Namboku pada jaman Edo generasi keempat dari keluarga Namboku. Generasi ke 1, ke 2 dan ke 3 adalah actor kabuki. Karya yang terkenal adalah Sumidagawa Hangoshozomei dan Tokaido Yotsuya Kaidan.

Kostum Kabuki
Dalam penampilan kabuki, pemeran dalm kabuki selalu menghiasi rambutnya dengan berbagai aksesoris yang indah dan dihiasi dengan topi yang berbentuk seperti payung yang disebut dengan Nurigasa. Lalu, untuk menyamai penampilannya dengan seorang samurai, pemain kabuki membawa pedang yang diselipka di Obi nya. Sebagai aksesoris tambahan pemain menggunakan selempang berwarna merah di dada yang disebut Karaori. Pada Koraori tersebut, terdapat hiasan gong kecil yang disebut dengan kane. Jika sebelumnya pakaian yang di gunakan oleh penari adalah pakaian yang juga lazim digunakan oleh masyarakat umumnya, maka dalam kabuki penarinya menggunakan kostum berupa kimono dengan motif bunga-bunga yang indah dengan warna yang terang dan mencolok.
Kabuki mulai berkembang menjadi suatu bentuk teater bukan hanya karena bentuk taria yang diiringi musik saja, tetapi juga terdiri dri beberapa aktor profesional yang memenaskan suati cerita tertentu. Bisa dikatakan bahwa kostum tidak hanya mewakili karakter tokoh dan peran yang dimainkan, mencerminkan identitas dan status sosial tokoh yang bersangkutan, tetapi juga mendukung ketokohannya sekaligus, sehingga kehadiran dan peran yang di jalankan memperkuat tema cerita. Bisa diartikan kostum adalah pakaian yang khusus yang merupakan pakaian seragam bagi perseorangan, rombongan kabuki, dan kesatuan.

Perkembangan perbedaan kostum kabuki ini memiliki empat tahap yaitu, yang pertama, pemakaian Eboushi (topi samurai) yang digunakan oleh Ichikawa Danjuro dihiasi dengan semacam tali kecil yang terbuat dari kumparan benang yang berwarna merah, putih, dan hijau. Sementara Matsumoto koshiro juga menggunakan Eboushi yang dihiasi dengan tali kecil yang terbuat dari kumparan benang. Namun tali kecil yang di gunakan oleh Motsumoto Koshiro itu sendiri terdiri dari empat warna yaitu merah, putih, hijau dan ungu. Kedua, ichikawa Danjuro memakai Himo yang terbuat dari kain sutra yang berwarna putih, sementara itu Matsumoto Koshiro menggunakan Himo yang terbuat dari benang berwarna hijau yang digabungkan dengan cara dililit. Ketiga, ichikawa Danjuro menggunakan Juban(baju dalam) yang mempunyai kerah yang disebut dengan Eri(kerah baju). Sementara Juban yang digunakan oleh Matsumoto Koshiro tidak mempunyai kerah. Keempat, Sou (seperangkat pakaian yang terdiri dari pakaian luar dan celana dengan motif berlipat) yang di kenaka oleh Ichikawa Danjuro berwarna coklat kemerah-merahan, sementara sou yang digunakan Matsumoto Koshiro berwarna coklat.

      Jenis Kabuki
1.       Kabuki Odori
Kabuki-odori (kabuki tarian). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.
2.       Kabuki-geki (kabuki sandiwara)
Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk "habis-habisan meniru kyōgen" merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.
Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang berjalannya waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi pergantian adegan. Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian panggung bernama hanamichi yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi penonton. Hanamichi dilewati aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari panggung, sehingga dapat menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga berkembang sebagai pertunjukan tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti teknik Séri (bagian panggung yang bisa naik-turun yang memungkinkan aktor muncul perlahan-lahan dari bawah panggung), dan Chūzuri (teknik menggantung aktor dari langit-langit atas panggung untuk menambah dimensi pergerakan ke atas dan ke bawah seperti adegan hantu terbang).
Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita Ningyo Jōruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata.  Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai sandiwara (shibai).

   Cerita Kabuki
Drama kabuki adalah cerita sejarah yang disebut Jidaimono. Penulis drama kabuki dari daerah Kamigata menjadi pionir dalam penulisan naskah drama. Penulis banyak mengadaptasi cerita Ningyo Jòruri. Hal ini memicu kreativitas tersendiri bagi penulis kabuki asal Edo. Beberapa penulis kabuki asal Edo tergerak mengkreasikan drama-drama baru, misalnya Tsuruya Namboku. Penulis kabuki yang banyak mengkreasikan cerita kepahlawanan dari zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Kawatake Mokuami yang popular di akhir zaman edo hingga memasuki zaman Meiji. Beberapa judul drama kabuki yang terkenal ialah Taiheiki no sekai, Heike monogatari no sekai, Sogamono no sekai, dan Sumidagawamono no sekai.
Jenis lakon kabuki terdiri dari :
1.       Jidai Kyogen :
Ceritanya diambil dari jaman Edo atau samurai pendeta pada jaman Kamakura.
2.       Sewa Kyogen :
Isi ceritanya menyangkut kehidupan rakyat pada jaman Edo.
3.       Buyogeki :
Tarian yang diiringi melodi gidayu.
4.       Kabuki Juhachiban:
Lakon Kabuki yang sangat popular.
5.       Shinsaku Kabuki :
Lakon-lakon yang ditulis setelah jaman Meiji.

E.      Judul Pertunjukan Kabuki
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai yang kemungkinan besar berasal dari kata Geidai. Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume dōjōji (4 aksara kanji) harus ditambah dengan Kyōkanoko (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul pertunjukan kabuki.


       Musik dan Panggung Kabuki
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Musik Kabuki sendiri terbagi dalam dua jenis, yaitu Shosha Ongaku yaitu musik samisen yang mengiringi tayu (dalang) dan Geza Ongaku yaitu musik yang melengkapi pertunjukan kabuki dari belakang panggung.
Selain itu yang menarik dalam kabuki adalah bentuk panggungnya. Keunikan panggung kabuki yang tidak akan dijumpai di negara lain. Bentuk panggung terdiri dari :
1.       Hanamichi :
Lorong diantara tempat duduk penonton yang terletak disebelah kiri dan kanan panggung.
2.       Suppon :
Lubang segi empat yang terdapat pada Hanamichi yang dapat ditarik ke atas dan ke bawah.
3.       Mawani Butai :
Bulatan besar yang terletak ditengah-tengah panggung dan dapat berputar fungsinya untuk pergantian dari siang dan malam.
4.       Yuka :
Tempat duduk tayu (dalang), pemetik simasen.
5.       Geza :
Tempat para pemain musik untuk memainkan alat-alat musik.
6.       Hikimaku :
Layar panggung yang terdiri dari tiga warna yaitu hijau tua, orange, dan hitam.

katakana dalam sejarahnya

Katakana adalah salah satu daripada tiga cara penulisan bahasa Jepang. Katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Jepang (外来語/gairaigo) selain itu juga digunakan untuk menuliskan onomatope dan kata-kata asli bahasa Jepang, hal ini hanya bersifat penegasan saja.

Berbeda dengan hiragana suku kata, yang digunakan untuk kata-kata bahasa Jepang dan tata bahasa yang infleksi kanji tidak meliputi, suku kata katakana ini terutama digunakan untuk transkripsi kata-kata bahasa asing ke dalam bahasa Jepang dan penulisan kata-kata pinjaman (secara kolektif gairaigo ). Hal ini juga digunakan untuk penekanan, untuk mewakili onomatopoeia , dan untuk menulis kata-kata bahasa tertentu Jepang, seperti istilah teknis dan ilmiah, dan nama-nama tumbuhan, hewan, dan mineral. Nama perusahaan Jepang juga sering ditulis dalam katakana daripada sistem lain.

Katakana ditandai dengan ringkas, guratan lurus dan bersudut, dan paling sederhana aksara Jepang. Ada dua sistem utama pengurutan katakana : yang kuno urutan iroha, dan lebih umum gojūon.

kegunaan katagana
Katakana yaitu huruf dalam bahasa jepang yang di gunakan untuk menuliskan bahasa asing selain bahasa jepang.Tahukah kamu? cara orang jepang berbicara bahasa asing,umumnya adalah dengan menyerap bahasa asing tersebut kedalam bahasa jepang.Misalnya saja,Coffee menjadi コーヒー (Kōhī ; Kopi).
Tapi,katakana juga sering di gunakan dalam konteks bahasa jepang sehari-hari.Misalnya untuk penulisan nama dalam formulir.Selain di minta untuk menuliskan nama dalam kanji,biasanya juga di minta untuk menuliskan nama dalam Katakana (sebagai On-yomi).Lalu,untuk menuliskan bentuk on-yomi dari huruf kanji.Bahkan,kanji yang rumit sering di tulis dalam katakana,tidak jarang pula ada kanji yang di campur dengan Katakana,misalnya saja:
皮膚科 karena 膚 tergolong rumit,maka di campur dengan katakana menjadi 皮フ科.Note: Kalau di lihat-lihat,bentuk huruf Katakana memang kaku,seperti robot (?).Kemungkinan,yang menemukan Katakana pertama kali adalah seorang pria.

cara menulis katakana

Aturan Menulis Katakana.

1. チョウオン (chouon) Vokal panjang.
Untuk vokal panjang dalam katakana ditulis dengan tanda “一” atau disebut onbiki.
Contoh :
ア一ト = Art (aato)
ク一ポン = Coupon (kuupon)
ノ一ト = Note (nooto)

2. ソクオン (Sokuon) Konsonan Kembar/Konsonan ganda.
Untuk konsonan ganda yang letaknya berurutan dalam sebuah kata, penulisannya adalah mengganti huruf konsonan yang pertama dengan huruf “ツ”, namun ditulis lebih kecil dari huruf biasa.
Contoh :
コップ = Cup (koppu)
マッチ = Match (matchi)

3. ソノタ (Sonota) lain-lain.
Dalam kata/nama asing banyak yang terdiri dari huruf-huruf mati.
Umumnya sistem penulisan kata-kata asing tersebut adalah dicari bunyi yang paling dekat dengan sistem ucapan orang jepang.

a) Huruf yang ditambah bunyi “U”.
Huruf c, b, f, g, k, l, m, p, r, dan s ditambah dengan u.
ボッブ = Bob (Bobbu)
ジャカルタ = Jakarta (Jakaruta)

b) Huruf yang ditambah dengan “O”.
Huruf t dan d ditambah dengan o (Kecuali pada salad / サ ラダ (sarada) )
アンドリ = Andri (Andori)
ヒント = Hint (Hinto)

c) Huruf “L” berubah menjadi “R”.
バリ = Bali (Bari)
レレ = Lele (Rere)

Hiragana dan sejarahnya

Hiragana (ひらがな、平仮名) adalah suatu cara penulisan bahasa jepang yang mewakili sebutan sukukata. Pada masa silam, ia juga dikenali sebagai onna de (女手) atau ‘tulisan wanita’ karena biasa digunakan oleh kaum wanita. Kaum lelaki pada masa itu menulis menggunakan tulisan kanji dan katakana. Berdasarkan sejarah, hiragana mula digunakan secara luas pada abad ke-10 Masehi.

Orang Jepang mulai bisa menulis setelah mengenal aksara Tionghoa. Namun aksara Tionghoa mulanya diciptakan untuk menulis bahasa Tionghoa, dan orang Jepang sulit memakainya untuk menulis bahasa Jepang. Sebagai pemecahannya, sebuah karakter dipakai untuk melambangkan sebuah bunyi, sedangkan arti yang dikandung masing-masing karakter diabaikan. Hasilnya adalah tulisan yang ditulis dengan menyusun satu demi satu aksara kanji untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Metode tersebut dipakai untuk menulis prasasti batu dan literatur klasik seperti Kojiki, Nihon Shoki, dan sebagian besar isi Man'yōshū sehingga disebut man'yōgana (kana untuk Man'yōshū). Kata "kana" sendiri berarti aksara sementara atau aksara pinjaman. Pada waktu itu, kanji juga dikenal sebagai mana (真字?, aksara resmi), sehingga kana untuk Man'yōshū disebut magana (真仮名?, kana resmi).

Di antara metode penulisan kanji secara man'yōgana yang paling populer adalah:

on'gana (音仮名?): bunyi dalam ucapan Tionghoa dipakai untuk menulis bahasa Jepang, misalnya: 夜麻 河波 宇具比須 有兼 dibaca: "yama kawa uguhisu arikemu"
kun'gana (訓仮名?): masing-masing karakter dibaca menurut ucapan Jepang, misalnya: 八間跡 夏樫 写心 鳴呼 dibaca: "yamato natsukashi utsushigokoro a".
Berdasarkan fungsinya yang hanya sebagai lambang bunyi, sewaktu kanji dipakai sebagai man'yōgana, orang tidak lagi memakai karakter yang dibentuk dari coretan-coretan yang rumit dan susah ditulis. Karakter yang terus dipakai adalah karakter yang mudah ditulis. Ketika dipakai untuk menulis waka atau tulisan sehari-hari, man'yogana yang ditulis kursif (sōsho) disebut sōgana (草仮名?). Selanjutnya agar lebih cepat ditulis, sōgana kembali disederhanakan hingga tercipta hiragana.

Sementara itu, katakana berawal dari penggunaan kanji yang dibaca menurut ucapan bahasa Jepang untuk menulis kanbun. Tanda-tanda khusus ditambahkan di tempat susunan kanji harus dibaca menurut ucapan bahasa Jepang. Kanbun juga disertai petunjuk berupa okurigana dan furigana (yomigana) agar kalimat bisa dibaca sebagai bahasa Jepang. Keterbatasan ruang kertas akhirnya membuat orang hanya menulis coretan yang unik dari sebuah karakter sehingga tercipta katakana. Selanjutnya, kanbun dilengkapi dengan katakana agar mudah dibaca.

Huruf Hiragana terbentuk dari garis-garis dan coretan-coretan yang melengkung (kyokusenteki). Huruf Hiragana yang digunakan sekarang adalah bentuk huruf  yang dipilih dari soogana yang ditetapkan berdasarkan Petunjuk Departemen Pendidikan Jepang tahun 1900. Hiragana digunakan untuk menulis kata-kata bahasa Jepang asli atau menggantikan tulisan Kanji, menulis partikel dan kata bantu kata kerja. Untuk tahap awal dalam mempelajari bahasa Jepang, 
Orang Jepang mulai bisa menulis setelah mengenal aksara Tionghoa. Namun aksara Tionghoa mulanya diciptakan untuk menulis bahasa Tionghoa, dan orang Jepang sulit memakainya untuk menulis bahasa Jepang. Sebagai pemecahannya, sebuah karakter dipakai untuk melambangkan sebuah bunyi, sedangkan arti yang dikandung masing-masing karakter diabaikan. Hasilnya adalah tulisan yang ditulis dengan menyusun satu demi satu aksara kanji untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Metode tersebut dipakai untuk menulis prasasti batu dan literatur klasik seperti Kojiki, Nihon Shoki, dan sebagian besar isi Man'yōshū sehingga disebut man'yōgana (kana untuk Man'yōshū). Kata "kana" sendiri berarti aksara sementara atau aksara pinjaman. Pada waktu itu, kanji juga dikenal sebagai mana (真字?, aksara resmi), sehingga kana untuk Man'yōshū disebut magana (真仮名?, kana resmi).

Setelah katakana dan hiragana semakin luas digunakan, man'yōgana semakin jarang dipakai. Di zaman sekarang, man'yōgana hanya kadang-kadang saja dipakai untuk menarik perhatian orang. Di antaranya, man'yōgana dipakai untuk menulis tajuk pengumuman obral (宝利出市, dibaca: holiday ichi; obral masa liburan) atau petunjuk tempat sampah (護美箱, dibaca: gomibako).

Tulisan nya adalah :

Kanji

Kanji
Kanji (漢字 ? ) digunakan untuk menulis kata-kata yang paling isi asli Jepang atau (historis) asal Cina, termasuk:

kebanyakan kata benda , seperti川(kawa, "sungai") dan学校(Gakko, "sekolah")
batang yang paling kata kerja dan kata sifat , seperti見di見る(miru, "melihat") dan白di白い(shiroi, "putih")
kebanyakan Jepang nama pribadi dan nama tempat, seperti田中(Tanaka) dan東京(Tōkyō). (Nama tertentu dapat ditulis dalam hiragana atau katakana, atau beberapa kombinasi dari ini dan kanji.)
Beberapa kata-kata Jepang yang ditulis dengan kanji yang berbeda tergantung pada penggunaan tertentu dari contoh kata demi, yang naosu kata (untuk memperbaiki, atau menyembuhkan) ditulis 治す ketika mengacu menyembuhkan seseorang, dan 直す ketika mengacu memperbaiki sebuah objek.

Kebanyakan kanji memiliki lebih dari satu pengucapan yang mungkin (atau "membaca"), dan beberapa kanji umum memiliki banyak. Bacaan yang tidak biasa atau tidak standar dapat dipoles menggunakan Furigana . Senyawa Kanji kadang-kadang diberikan pembacaan sewenang-wenang untuk tujuan gaya. Misalnya, dalam Natsume Soseki cerita pendek 's The Fifth Malam, penulis menggunakan 接続って untuk tsunagatte, yang gerund bentuk -te dari tsunagaru kata kerja ("untuk menghubungkan"), yang biasanya akan ditulis sebagai 繋がって atau つながって . Kata 接続, yang berarti "koneksi", biasanya diucapkan setsuzoku.

Sejarah kanji

Secara resmi, aksara Tionghoa pertama kali dikenal di Jepang lewat barang-barang yang diimpor dari Tiongkok melalui Semenanjung Korea mulai abad ke-5 Masehi. Sejak itu pula, aksara Tionghoa banyak dipakai untuk menulis di Jepang, termasuk untuk prasasti dari batu dan barang-barang lain. 
Sebelumnya di awal abad ke-3 Masehi, dua orang bernama Achiki dan Wani datang dari Baekje di masa pemerintahan Kaisar Ōjin. Keduanya konon menjadi pengajar aksara Tionghoa bagi putra kaisar.Wani membawa buku Analek karya Kong Hu Chu dan buku pelajaran menulis aksara Tionghoa untuk anak-anak dengan judul Seribu Karakter Klasik.Walaupun­ demikian, orang Jepang mungkin sudah mengenal aksara Tionghoa sejak abad ke-1 Masehi. Di Kyushu ditemukan stempel emas asal tahun 57 Masehi yang diterima sebagai hadiah dari Tiongkok untuk raja negeri Wa (Jepang).
Cara pengucapan
Satu aksara kanji bisa memiliki cara membaca yang berbeda-beda. Selain itu tidak jarang, satu bunyi bisa dilambangkan oleh aksara kanji yang berbeda-beda. Aksara kanji memiliki dua cara pengucapan, ucapan Tionghoa (on’yomi) dan ucapan Jepang (kun’yomi).
Ucapan Tionghoa (on’yomi)
On’yomi (音読み) atau ucapan Cina adalah cara membaca aksara kanji mengikuti cara membaca orang Cina sewaktu karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Pengucapan karakter kanji menurut bunyi bahasa Tionghoa bergantung kepada zaman ketika karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Akibatnya, sebagian besar karakter kanji memiliki lebih dari satu on’yomi. Kanji juga dikenal orang Jepang secara bertahap dan tidak langsung dilakukan pembakuan.
On’yomi dibagi menjadi 4 jenis:
Go-on (呉音, “ucapan Wu”) adalah cara pengucapan dari daerah Wu di bagian selatan zaman Enam Dinasti Tiongkok. Walaupun tidak pernah ditemukan bukti-bukti, ucapan Wu diperkirakan dibawa masuk ke Jepang melalui Semenanjung Korea dari abad ke-5 hingga abad ke-6. Ucapan Wu diperkirakan berasal dari cara membaca literatur agama Buddha yang diwariskan secara turun temurun sebelum diketahui cara membaca Kan-on (ucapan Han). Semuanya cara pengucapan sebelum Kan-on digolongkan sebagai Go-on walaupun mungkin saja berbeda zaman dan asal-usulnya bukan dari daerah Wu.
Kan-on (漢音, “ucapan Han”) adalah cara pengucapan seperti dipelajari dari zaman Nara hingga zaman Heian oleh utusan Jepang ke Dinasti Tang dan biksu yang belajar ke Tiongkok. Secara khusus, cara pengucapan yang ditiru adalah cara pengucapan orang Chang’an.
Tō-on (唐音, “ucapan Tang”) adalah cara pengucapan karakter seperti dipelajari oleh biksu Zen antara zaman Kamakura dan zaman Muromachi yang belajar ke Dinasti Song, dan perdagangan dengan Tiongkok.
Kan’yō-on (慣用音, “ucapan populer”) adalah cara pengucapan on’yomi yang salah (tidak ada dalam bahasa Tionghoa), tapi telah diterima sebagai kelaziman.
Kanji Arti Go-on Kan-on Tō-on Kan’yō-on
明 terang myō (明星 myōjō) mei (明暗 meian) (min)* (明国 minkoku) — 行 pergi gyō (行列 gyōretsu) kō (行動 kōdō) (an)* (行灯 andon) —
京 ibu kota kyō (京都 Kyōto) kei (京阪 Keihan) kin (南京 Nankin) —
青 biru, hijau shō (緑青 rokushō) sei (青春 seishun) chin (青島 Chintao) – 清 murni shō (清浄 shōjō) sei (清潔 seiketsu) (shin)* (清国 Shinkoku) — 輸 mengirim (shu)* (shu)* — yu (運輸 un-yu)
眠 tidur (men)* (ben)* — min (睡眠 suimin)
Ucapan Jepang (kun’yomi)
Kun’yomi (訓読み) atau ucapan Jepang adalah cara pengucapan kata asli bahasa Jepang untuk karakter kanji yang artinya sama atau paling mendekati. Kanji tidak diucapkan menurut pengucapan orang Cina, melainkan menurut pengucapan orang Jepang. Bila karakter kanji dipakai untuk menuliskan kata asli bahasa Jepang, okurigana sering perlu ditulis mengikuti karakter tersebut.
Seperti halnya, on’yomi sebuah karakter kadang-kadang memiliki beberapa kun’yomi yang bisa dibedakan berdasarkan konteks dan okurigana yang mengikutinya. Beberapa karakter yang berbeda-beda sering juga memiliki kun’yomi yang sama, namun artinya berbeda-beda. Selain itu, tidak semua karakter memiliki kun’yomi.
Kata “kun” dalam kun’yomi berasal kata “kunko” (訓詁 ?) (pinyin: xungu) yang berarti penafsiran kata demi kata dari bahasa kuno atau dialek dengan bahasa modern. Aksara Tionghoa adalah aksara asing bagi orang Jepang, sehingga kunko berarti penerjemahan aksara Tionghoa ke dalam bahasa Jepang. Arti kanji dalam bahasa Tionghoa dicarikan padanannya dengan kosakata asli bahasa Jepang.
Sebagai aksara asing, aksara Tionghoa tidak dapat diterjemahkan semuanya ke dalam bahasa Jepang. Akibatnya, sebuah karakter kanji mulanya dipakai untuk melambangkan beberapa kun’yomi. Pada masa itu, orang Jepang mulai sering membaca tulisan bahasa Tionghoa (kanbun) dengan cara membaca bahasa Jepang. Sebagai usaha membakukan cara membaca kanji, satu karakter ditetapkan hanya memiliki satu cara pengucapan Jepang (kun’yomi). Pembakuan ini merupakan dasar bagi tulisan campuran Jepang dan Tionghoa (wa-kan konkōbun) yang merupakan cikal bakal bahasa Jepang modern.
Kokkun
Kokkun (国訓) adalah karakter kanji yang mendapat arti baru yang sama sekali berbeda dari arti semula karakter tersebut dalam bahasa Tionghoa, misalnya:
沖 chū, okitsu, oki (jauh di laut, lepas pantai; pinyin: chōng, membilas; chòng, kuat) 椿 tsubaki (Kamelia; pinyin: chūn, Ailanthus)
Jūbakoyomi dan yutōyomi
Gabungan dua karakter sering tidak mengikuti cara membaca on’yomi dan kun’yomi melainkan campuran keduanya yang disebut jūbakoyomi (重箱読み). Karakter pertama dibaca menurut on’yomi dan karakter kedua menurut kun’yomi, misalnya
重箱 (jūbako)
音読み (on’yomi)
台所 (daidokoro)
役場 (yakuba)
試合 (shiai)
団子 (dango).
Sebaliknya dalam yutōyomi (湯桶読み), karakter pertama dibaca menurut kun’yomi dan karakter kedua menurut on’yomi, misalnya:
湯桶 (yutō)
合図 (aizu)
雨具 (amagu)
手帳 (techō)
鶏肉 (toriniku).
Karakter buatan Jepang
Kokuji (国字 aksara nasional) atau wasei kanji (和製漢字kanji buatan Jepang) adalah karakter kanji yang asli dibuat di Jepang dan tidak berasal dari Tiongkok. Kokuji sering hanya memiliki cara pembacaan kun’yomi dan tidak memiliki on’yomi, misalnya:
峠 (tōge): lintasan pegunungan
榊 (sakaki): pohon sakaki (Cleyera japonica)
畑 (hatake, hata): ladang, perkebunan
辻 (tsuji): sudut jalan, perempatan jalan
腺 (sen): kelenjar
働 (hatara(ku); on’yomi: dō) : bekerja.
Beberapa kokuji dipungut oleh bahasa Tionghoa, misalnya: 腺 (xiàn).
Daftar kanji
Pemerintah Jepang mengeluarkan daftar aksara kanji yang disebut Tōyō kanji (当用漢字表, karakter masa kini) pada 16 November 1946 yang seluruhnya berjumlah 1.850 karakter. Daftar ini memuat aksara kanji yang telah disederhanakan atau shinjitai (新字体, karakter bentuk baru). Sebaliknya, aksara kanji yang belum disederhanakan disebut kyūjitai (旧字体).
Daftar Tōyō kanji digantikan dengan daftar Jōyō kanji (常用漢字) berisi 1.945 karakter yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Jepang pada 10 Oktober 1981. Hingga sebelum akhir Perang Dunia II, Kementerian Pendidikan sudah 4 kali mengeluarkan daftar Jōyō kanji (1923, 1931, 1942, dan 1945).
Kementerian Pendidikan juga memiliki daftar kyōiku kanji (教育漢字, kanji pendidikan) yang diambil dari daftar Jōyō kanji. Daftar ini berisi 1.006 karakter untuk dipelajari anak sekolah dasar di Jepang. Selain itu, pemerintah Jepang mengeluarkan daftar jinmeiyō kanji (人名用漢字, kanji nama orang) yang dipakai untuk menulis nama orang. Hingga 27 September 2004, daftar jinmeiyō kanji berisi 2.928 karakter (daftar Jōyō kanji ditambah 983 kanji nama orang).